H+15 saya baru berkesempatan mengajak jalan-jalan anak
pertama saya, Azzam, yang memang selalu saya bawa kemana-mana, untuk
melihat-lihat kondisi kota, terutama di kawasan pesisir pantai dengan harapan
bisa menemukan bangkai motor yang saya pinjam untuk dipakai kuliah anak tinggal
saya.
Seperti biasa, selama perjalanan anak saya tidak berkomentar
apa saja tentang segala yang dia lihat. Tetapi baru akan dia ceritakan kembali
kepada ibunya dirumah dengan lancar, serta kadang dengan cara yang sok dewasa. Karena
Azzam juga mewarisi beberapa sifat bawaan saya, yaitu tidak bisa dibetulkan apa
saja yang dia yakini benar. Sehingga anak itu sering ngeyel dan selalu berdebat
dengan ibunya.
Sesampai di rumah, sudah pasti Azzam langsung memanggil
ibunya untuk bercerita tentang kehancuran kota seperti yang dia lihat dan
saksikan sendiri. Setelah dia seritakan semua tentang robohnya tiang penyangga
masjid terapung, SPBU, rumah, Palu Grand Mall, bangkai motor, bangkai mobil dan
Jembatan Palu IV yang juga roboh.
Kemudian Azzam menengok kepada saya, nampaknya dia sadar
untuk hal ini ibunya tidak tahu.
“Ayah, kenapa tadi saya lihat ada tulisan Hidayat
Mati Saja, ada juga tulisan wali kota pemuja setan, banyak sekali tulisan seperti
itu saya lihat tadi,” tanya Azzam.
Pertanyaan yang sudah saya duga akan dia utarakan, karena
memang setiap jalan saya selalu perhatikan ekspresi wajahnya terhadap apa yang
dia perhatikan.
“Karena banyak orang yang marah dengan walikota,” jawab
saya.
“Kenapa marah?” cecar Azzam kepada saya.
“Waktu terjadi gempa, Pemkot Palu mengadakan upacara namanya
Balia di pantai, dibawah jembatan kuning itu. Katanya potong kerbau, darahnya dialirkan
ke sungai menuju laut. Upacara itu yang diyakini banyak orang sebagai penyebab
gempa, tsunami dan likuifasi, karena dalam upacara itu memanggil roh-roh dari
gunung-gunung dan lainnya,” terang saya
singkat.
baca juga :
Ya, seperti diketahui, kehidupan masyarakat Kota Palu
dikenal reliji, karena kota ini juga merupakan pusat pendidikan Islam terbesar
di Indonesia Timur, yaitu Yayasan Pendidikan Alkhairaat yang didirikan Guru
Tua.
Sementara Balia merupakan ritual adat leluhur Suku Kaili
yang sebenarnya bertujuan untuk pengobatan orang sakit non medis. Konon Ritual
Balia dilaksanakan dengan syarat-syarat khusus, yang tidak bisa dilakukan oleh
sembaranan orang. Selain itu juga sifatnya tertutup.
Oleh Wali Kota Palu, Hidayat. M.S,i yang pada Jumat, 28 September 2018 merupakan
tahun kedua kepemimpinannya, dia jadikan Ritual Balia ini sebagai tontonan,
hiburan melalui acara pesta ulang tahun Kota Palu yang namanya ‘Palu Nomoni’
(artinya Palu Berbunyi).
Meski hanya hiburan, namun Ritual Balia pada Festival Palu
Nomoni dilaksanakan layaknya ritual pengobatan adat pada umumnya. Mulai dari
sesajian hingga prosesi penyembahan darah hewan. Inilah yang diyakini sebagian
besar masyarakat Kota Palu sebagai penyebab bencana yang menghilangkan ribuan
nyawa, ribuan orang terluka dan hilang, hancurnya rumah bahkan kehancuran bagi
wilayah Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala.
Ditambah lagi teringatnya masyarakat Kota Palu terhadap fenomena
alam yang terjadi pada Festival Palu Nomoni 2017, dimana pada saat kegiatan
berlangsung diiringi terjadinya hujan angin dan petir di sekitaran pantai
tempat kegiatan tersebut berlangsung. Dan berbagai peristiwa aneh setelahnya.
Namun, para ilmuwan ahli memiliki pendapat dari segi
keilmuannya terhadap paket bencana lengkap Gempa, Tsunami dan Likuifasi ini,
yakni akibat pergerakan ekstrim Palu Koro. (bersambung)
Azzam Bertanya, Kenapa Ada Tulisan Hidayat Mati Saja (tulisan 4)
Reviewed by p
on
10/17/2018
Rating:
No comments: