Awal mula
berpolitik, saya menjadi relawan pemenangan Ahmad M Ali yang hendak maju
sebagai Bupati Morowali – Sulawesi Tengah tahun 2011. Waktu itu saya memilih
berhenti sebagai seorang jurnalis salah satu koran harian di Kota Palu, dan
memilih tugas untuk berkomunikasi guna menyampaikan pokok-pokok pikiran Ahmad M
Ali yang berpasangan dengan Yakin Tumakaka di daerah berjuluk ‘Daerah Seribu
Tambang’ itu.
Pokok-pokok
pikiran dan gagasan Ahmad M Ali – Yakin Tumakaka saat itu disebut dengan ‘Satu
Milyar Satu Desa’, namun program yang merupakan kajian para akademisi
Universitas Tadulako ini tidak diterima oleh masyarakat Morowali. Sebagian besar
rakyat lebih mempercayakan kepemimpinan kepada incumbent, Anwar Hafid.
baca : Kopi Kulawi, Pesona Pinggiran Lembah Palu
baca : Kopi Kulawi, Pesona Pinggiran Lembah Palu
Sesuai tugas,
tiap hari saya harus berkunjung dan bersilaturahmi dengan warga, khususnya di
desa-desa transmigrasi. Suatu ketika, bersama dengan teman saya diajak untuk
silaturahmi ke Desa Beringin Harapan, Kecamatan Witaponda.
Berdasarkan informasi
dari teman, Ambo Tang, di desa ini ada satu blok transmigran asal Kabupaten
Blitar, Jawa Timur. Blok warga asal
Kabupaten Blitar itu membentuk satu Rukun Tetangga (RT) yang diketuai pria
kurus berkumis agak tebal, Saring (45). Saya memanggilnya Lek Saring.
Sebenarnya sejak
ada niat berkunjung ke blok itu saya tidak tau asal daerah lek saring. Saya baru
tahu beberapa saat setelah ngobrol ringan, dan disela obrolan muncul istrinya
membawa satu baki berisi beberapa gelas kopi.
“Monggo mas,
diunjuk (silahkan mas diminum),” kata istri lek Saring menawarkan.
Usai seruput
pertama, “Njenengan saking Blitar lek?,” (kamu dari Blitar)
“Kok
ngertos mas?,” (kok tau mas).
“Niki
kopine persis kalih lek mak kulo ndamel kopi,” (Ini kopinya sama dengan
buatan ibu saya).
Klop....akhirnya
obrolan kami semakin akrab berkat kopi buatan Lek Saring. Hingga kami
saling tau, saya asal Kecamatan Talun, sedangkan Lek Saring beserta 40 kepala
keluarga warganya berasal dari Kecamatan Binangun.
Meski kami
berasal dari satu kabupaten, namun beda kecamatan. Namun demikian obrolan
sangat hangat, seolah kami adalah saudara sedarah yang puluhan tahun terpisah
dan baru bertemu lagi.
Seperti yang
saya sebutkan dalam tulisan lainnya, bahwa pada segelas kopi tergambar identitas,
kearifan adat dan budaya hingga menggambarkan gaya hidup seseorang.
Setidaknya momen
pertemuan saya dengan Lek Saring kala itu membenarkan apa yang saya pahami. Dari
segelas kopi yang disajika istri beliau, kemudian kami saling melepas kangen
kepada daerah kami, Blitar.
Bagaimana sih
Kopi orang Blitar?.
Yah, orang
Blitar pada umumnya bubuk kopi yang tidak terlalu halus. Seperti kebiasaan emak
saya, yang tidak menumbuk hingga halus seluruhnya, meski diayak menggunakan penyaring
kawat, namun selalu disisakan yang masih kasar. Bahkan ada yang baru pecah
seperempat biji kopi.
Kata emak
saya, sensasi kenikmatan menyeruput kopi harus masih ada yang dikunyah-kunyah. Dengan
bercanda, saya selalu protes dengan kopi emak, dan protes saya juga selalu
dijawab dengan bersungut-sungut oleh emak yang memang judes; hahaha.
Tekstur kasar
karena tidak semua kopi ditumbuk halus khas emak saya, ternyata sama persis
dengan kopi yang disajikan istri Lek Saring. Alasan sama pula antara Lek Saring
dan Emak saya yang menyukai kopi kasar.
Alhamdulillah,
segelas kopi itu sukses mengajak saya dan Lek Saring terbang melayang ke
romatisme kampung halaman Blitar. Dari tiap seruputnya juga telah berhasil
merekatkan batin kami.
Jangan Takut
Ngopi.
Kopi Transmigran Blitar di Morowali
Reviewed by p
on
9/09/2018
Rating:
No comments: