Hampir delapan
bulan lamanya, tahun 2017, saya melakukan kegiatan politik di Kabupaten Buol,
ujung utara Provinsi Sulawesi Tengah. Sebagai seorang penikmat kopi, tentunya
saya tidak bisa melepaskan begitu saja hari-hariku dari secangkir kopi, baik
pagi, siang maupun malam.
Mungkin,
karena akses menuju daerah ini yang jauh dari kota. Tetapi akses perjalanan darat
menuju daerah ini sudah bagus, karena memang berada di jalan jalur poros menuju
Provinsi Gorontalo. Sekian.
Bagi saya,
disaat beraktifitas, kopi adalah suplemen dan nutrisi tambahan agar tetap
lancar dan bersemangat. Konon pula, kopi
juga bermanfaat menjaga stabilitas stamina. Dan memang, seperti tulisan-tulisan
saya lainnya, untuk mengembalikan energi yang terbuang usai melakukan kegiatan,
kopi adalah pilihan tepat.
Kembali ke
awal tulisan, selama hampir delapan bulan itu, setiap kopi; baik produk pabrikan
maupun yang dijajakan pedagang tradisional di pasar setempat, serasa terpaksa
kutelan. Pasalnya sama sekali tidak terasa aroma dan rasa kopinya.
baca : Kopi Transmigran Blitar di Morowali
baca : Kopi Transmigran Blitar di Morowali
Padahal,
bubuk kopi yang banyak dijual pedagang di pasar, sudah diberi tambahan jahe. Namun
tetap saja tidak bertemu selera dengan indera pengecap. Ada rasa sedikit hangus
bercampur dengan aroma jahe, yang tidak juga menutupi kekurangan sesansi
kopinya.
Setelah sekira
tujuh bulan berada di daerah ini, suatu ketika kami ada kegiatan di salah satu
desa,
Kecamatan Bunobogu. Usai melakukan persiapan tempat untuk kegiatan malam
harinya, rekan kami yang tinggal di desa itu minta agar tidak langsung
meninggalkan tempat. Namanya Irfan Bachtiar, dia minta agar kami menunggu
sejenak karena ada yang sedang menyiapkan kopi.
Saya, kami,
sabar menunggu, hingga datanglah satu cerek kopi diantarkan ke tempat
kami menunggu, duduk ngobrol bersama beberapa warga desa setempat dibawah pohon
dipinggir lapangan.
Dengan tak
sabar nampan plastik berisi cerek kopi dan gelas itu segera kuambil alih,
kemudian kutuang ke beberapa gelas, karena gelas tidak cukup maka gelas air
mineral menjadi pilihan yang tepat.
Kumulai seruput
pertama, panas, campuran gula pas dilidahku, sensasi rasa kopi yang menyentuh
ujung lidahku, segera menjalar keseluruh syaraf tubuhku, yang terdekat adalah
syaraf kening kepalaku langsung yang sejak beberapa jam sebelumnya terasa
tegang langsung kendur.
baca : Kopi Kulawi, Pesona Pinggiran Lembah Palu
baca : Kopi Kulawi, Pesona Pinggiran Lembah Palu
Informasi lengkap
kualitas kopi dari Bunobogu itu spontan keluar dari bibirku, mantab, legit,
tajam dan kuat aromanya. Saya tersenyum sambil menoleh ke arah kawan Irfan
Bachtiar, “Kopi apa namanya, selama beberapa bulan di Buol baru ini ketemu kopi
yang enak?,” tanya saya.
“Ini namanya
kopi Tumbo mas,” jawab Irfan.
“Kopi
Tumbuk?,” tanyaku lagi memastikan nama kopi itu.
“Bukan tumbuk,
tapi Tumbo, beda Tumbo dan tumbuk, memang setelah disangrai ditumbuk sampai
jadi bubuk, kami menyebutnya Kopi Tumbo,” tegas Irfan.
Sekali lagi,
aroma Kopi Tumbo ini cukup tajam, harum dan tegas melekat di ujung lidah.
Lantas, apa
yang membuat rasa dan aroma Kopi Tumbo ini jauh beda dengan kopi di wilayah Kabupaten
Buol lainnya, dan mungkin bahkan beda dengan kopi lainnya di Indonesia.
Begini, jika
pada umumnya pohon kopi tumbuh dan berkembang di dataran tinggi ataupun lembah.
Komoditi kopi khas Kecamatan Bunobogu, Kabupaten
Buol, Tengah , daerah ujung utara Provinsi Sulawesi Tengah ini justru tumbuh
dengan baik di pinggir rawa-rawa, disela pepohonan sagu. Rawa-rawa daerah ini
berdekatan dengan mangrove.
Pengaruh apa
sehingga rawa-rawa air payau itu bisa membuat rasa kopi di kawasan itu berbeda,
jelas saya pribadi tidak bisa menjelaskan secara ilmiah. Bahkan warga setempat
juga tidak memiliki argumen ilmiah untuk menjelaskannya.
Karena tidak
ada dan belum ada riset khusus dari pihak manapun untuk mengetahui lebih dalam.
Dan lagi-lagi, belum ada perhatian khusus dari pihak terhadap keunikan Kopi
Tumbo ini.
Kopi Tumbo, Tumbuh Diantara Pepohonan Sagua
Reviewed by p
on
9/08/2018
Rating:
No comments: